Minggu, 29 April 2012

Makalah Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

Berbicara tentang korupsi dan kolusi di negeri kita saat ini sangat tidak asing lagi dan bahkan sering disorot oleh media masa, seakan korupsi dan kolusi menjadi makanan yang empuk bagi para pejabat baik tingkat daerah maupun nasional. kendati sudah ada institusi negara yang sangat besar yang khusus mengatasi korupsi, namun masih banyak mereka masih tetap tenang untuk makan uang haram ini. Adapun menurut hukum Islam sudah jelas itu hukumnya haram dan banyak hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang hal itu.
Selain itu ada permasalahan lain terkait dengan jual beli, kita juga harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak diperbolehkan, yaitu monopoli atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar itu menurut pandangan hukum islam.

Dalam makalah ini kami akan menguraikan dua pembahasan yaitu terkait tentang masalah korupsi, kolusi, serta perdagangan monopoli.
BAB II
PEMBAHASAN

الرشوة
(larangan Korupsi dan Kolusi)

Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. korupsi adalah pekerjaan yang diharamkan karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara tidak sah.
Sedangkan kolusi ialah persekongkolan antara dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain. Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah tender bersepakat dengan salah seorang pengaju tender agar tendernya yang dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut “kolusi”. Begitu juga hakim di pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya dimenangkan.
Bila kita membahas masalah kolusi dalam tinjauan hukum syara`, maka kita dapat temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang masalah kolusi ini, salah satunya, firman Allah :
“Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tak sah, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah 188)
Di samping itu, kita juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang kolusi dan korupsi, yaitu :
عَنْ اَبِى هُرَيرَةَ ر.ض قَال : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ ص.م : لَعَنَةُاللهِ عَلَى الرَّاشِى وَالمُرْتَشِى فِى الحُكْمِ. (رواه ابو داود) (نيل الاوطار)
Dari Abi Hurairah r.a: berkata : berkata Rasulullahi SAW : Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang di suap dalam urusan hukum. [riwayat: Abu Daud] [Nailul Authar 8: 276]

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ اَلْرَّاشِيَ وَالْمُرْ تَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِى اَلَّذِيْ يَمْشِيْ بَيْنَهُمَا                 

“ Dari tsaubana berkata: rasulullah melaknat orang-orang yang menyuap dan orang-orang yang disuap, dan juga orang yang menjadi perantara diantara keduanya.” [HR. Ahmad] [Nailul Authar 4: 276]
عَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gaji itu adalah korupsi.” [HR. Abu Daud] [Nailul Author 4: 232]

Kata suap yang dalam bahasa Arab disebut “Rishwah” atau “Rasyi”, secara bahasa bermakna “memasang tali, mengambil hati”.

Penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat apa-apa.
Pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang atau jasa untuk mencapai tujuannya.
Suapan, yaitu harta atau uang/barang atau jasa yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan benda dan atau sesuatu yang didambakan, diharapkan, atau diterima.

Banyak yang memberikan definisi tentang suap ini sehingga menurut istilah dikenal beberapa pengertian suap, seperti uraian berikut:

1.      Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut dapat menolong orang yang memberi. Maksudnya, sesuatu yang dapat berupa uang ataupun harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkan, berkat bantuan orang yang diberi tersebut.
2.      Suap adalah sesuatu yang diberikan untuk mengeksploitasi barang yang hak menjadi batil dan sebaliknya. Artinya sesuatu ini diserahkan kepada orang lain supaya ia ditolong walaupun dalam urusan yang tidak dibenarkan oleh syara’.
3.      Suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.

      Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh dengan jalan batil. Allah SWT. Berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (Qs. Al-Baqarah: 188)

Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas system yang berada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar yng seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman yang sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim.

Bagaimana pun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikkan hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil buatan manusia, mudah sekali baginya untuk mengutak atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang.

نحى تلقى الركبان و الاحتكار

(Larangan Menimbun dan Monopoli)

Monopoli atau ihtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.
Monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.




عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ ر.ض أن رَسُوْل اللهِ ص.م قَال: لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ بِهَا إِلَى الاسُّواقِ . (رواه داود)

Hadis dari Abdullah bin umar, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Tidak boleh sebagian di antara kalian membeli barang dagangan dari penjualan (di atas penawaran) orang lain. Dan tidak boleh menjemput para penjual sampai ia meletakkan barang dagangannya di pasar [riwayat Abu Daud 2: 132]

عن ابى هريرة ر.ض أن النبى ص.م نَهى عن تلقى الجلبِ فإن تلقاهُ متلقٍ مشترٍ فا شتراه فصاحب السلعة بِا لخيار اذا وردت السوق. (رواه ابو داود)

         Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi SAW melarang

عن ابن عباس ر.ض قال : نهى رسول الله ص.م ان بيع حاضر لباد فقلت ما يبيع حاضر لباد ؟ قال : لا يكون له سمسارا (رواه ابو داود)

Dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW melarang  orang kota menjual barang buat orang desa. Maka  bertanya ( Ibnu Abas) : apa yang dimaksud bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ? jawab: maksudnya janganlah orang kota menjadi makelar atau perantara (penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang desa.” [Riwayat: Abu Daud 2: 132]
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, baik desa itu jauh meupun dekat dengan kota, baik diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik di waktu penduduk kota memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara bertahap ataupun sekaligus.

Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa, dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.

Namun demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada kata lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan mereka, perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam kerena sangat memudaratkan.

Penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi kekota untuk membeli barang tersebut, tidak melalui perantara, akan tetapi karna kebodohan mereka atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena sangat membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.

Tentu saja berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.

Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk  mekkah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.

عنْ مَعْمَرِبْنِ أَبِى مَعْمَرٍ ر.ض (أَحَدِ بَنِى عَدِىِّ بْنِ كَعْبٍ) قال : قال رَسُولُ اللهِ ص.م لاَيحتكرإِلاَ خاَطِئٌ فقُلْتُ لِسَعِد : فإِنَّكَ تَحْتَكِرُ, قال : وَمَعمرٌ كاَنَ يحتكِرُ, قال ابو داود: وَسألتُ أحمد ما الحكرةُ ؟ قال ما فيه عَيْشُ النَّاسِ , قاَلَ أبو داود : قال الأَوْزاعِيُّ المُحْتَكِرُ مَنْ يَعْتَرِضُ السُّوْقَ (رواه ابو داود)

Dari Ma’mar bin Abu Ma’amar (salah satu anaknya Adi bin Hatim) berkata : Rasullah SAW bersabda, “Tidak memonopoli kecuali yang melakukan kesalahan”.
Salah satu perawi hadis di atas berkata : lalu aku berkata kepada sa’id (gurunya) , “sesungguhnya kamu juga memonopoli”. Said berkata Ma’mar juga memonopoli.
Abu Daud berkata : Aku bertanya kepada Ahmad, Apa yang dimaksud dengan monopoli ? Ahmad menjawab,
“sesuatu yang mengganggu kehidupan manusia.”
Abu Daud berkata:”menurut Al-Auzai, orang yang memonopoli adalah orang yang mengganggu stabilitas pasar. [riwayat Abu Daud]

Dari Ma’mar, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa“. [HR Muslim]
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
            Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Kemudian para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat
Di dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli oleh seseorang atau suatu perusahaan. Pemerintah berhak mengaturnya jika terjadi hal demikian dengan cara pengawasan terhadap harga regulasi harga
            Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar tidak terjadi penimbunan barang, yang dibutuhkan oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan harga yang adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak. Harga yang adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan, pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat bagi masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Korupsi merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dilarang, karena korupsi merusak mental atau akhlak suatu bangsa yang bisa dikenakan tindak pidanan sebagaimana hukumannnya. Untuk menanggulanginya, harus memahami dan kemudian merealisasikannya dalam perbuatan.
Kata suap yang dalam bahasa Arab disebut “Rishwah” atau “Rasyi”, secara bahasa bermakna “memasangtali, ngemong, mengambil hati”
Adapun macam-macam suap adalah :
1.      Suap untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil.
2.      Suap untuk mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan serta kedzaliman.
Hadis Nabi menerangkan bahwa haram hukumnya bahwa memberi hadiah dan menerimanya terhadap seorang pejabat. Hal itu merupakan pengkhianatan, karena ia berkhianat terhadap jabatan atau kekuasaannya
Ihtikar adalah :
  1. Dilihat dari kebutuhan manusia kepada barang tersebut dengan tujuan menaikkan harga terhadap kaum  muslimin.
  2. Penimbun barang yang berdosa adalah orang yang keluar masuk pasar untuk memborong kebutuhan pokok kaum muslimin dengan cara monopoli dan menimbunnya.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.